Senin, 10 September 2012

AKU MERINDUKANMU, IBU...


Lebaran tinggal menghitung hari lagi, dimana saja pun sudah terdengar bunyi ledakan-ledakan petasan. Hari ini aku berencana ingin membeli gamis lebaran untuk ibuku. Aku sudah menemukan gamis yang menurutku cocok untuk ibuku. Tapi, baru hari ini aku bisa membelinya. Aku membayangkan betapa cntiknya ibu jika ia mengenakan gamis itu. Ah, kecantikan ibu tiada duanya di dunia ini...
                Dengan ditemani seorang temanku, aku menuju Toko Baju Muslim yang menjual berbagai macam kelengkapan shalat dan busana muslim. Aku bergerak cepat karna takut gamis yang sudah aku incar 4 hari yang lalu laris dibeli orang lain. Alhamdulillah, gamis itu masih utuh dan masih ada di tempat pertama kali aku melihatnya. Aku meminta nota kepada SPG untuk dibayar ke kasir. Aku meminta pendapat Faiq gimana bagusnya aku memberikan gamis itu kepada ibu. Faiq adalah teman dekatku sejak aku kecil. Dia yang paling setia diantara teman-teman yang lain. Kuputuskan untuk membungkus gamis itu dengan kotak kecil dan kuhias dengan pita. Aku harap ibu menyukainya.
                2 hari menjelang lebaran Idul Fitri aku sengaja membantu ibu merapikan rumah termasuk halaman depan dan ruang tamu. Selagi ibu memasak dan membuat ketupat lebaran, aku diam-diam menaruh kotak berisi gamis itu di meja makan. Aku sengaja tidak memberikan langsung pada ibu.
“kotak siapa ini?” ibu bingung saat kembali dari dapur. “Rizka, ini kotak punyamu? Letakkan di kamar nak, jangan di meja makan.” Terdengar suara ibu dari dalam. Aku segera berlari masuk dan tersenyum-senyum, “ Ibu, itu untukmu. Aku ingin ibu mengenakannya saat lebaran besok.”
“Apa ini, nak?” ibu masih bingung. “Itu gamis untuk ibu. Aku yakin pasti ibu sangat cantik bila mengenakannya.” Langsung saja aku memeluk pundak ibu. “Terimakasih, rizka. Seharusnya kamu tidak perlu membelikannya. Terimakasih yaa... Ibu pasti kenakan saat lebaran nanti.” Ibu mengecup kening ibu.
Terimakasih ibu...
                Kami melaksanakan shalat Id’ di masjid dekat rumah. Aku berangkat bersama Om dan Kakak. Untungnya keluarga dan kakak pulang kampung dari luar kota. Ibu menjadi terhibur dan tidak merasa kesepian. Karna semenjak ayah pergi meninggalkan kami, ibu jadi sering sedih dan sakit-sakitan. Di rumah kami hanya tinggal berdua, sedangkan Kak Mella kuliah di Bandung dan Kak Robi bekerja di Sumatra. Otomatis aku sebagai anak laki-laki satu-satunya yang bersama ibu harus menjaga dan merawat ibu sebaik mungkin.
                Seperti biasa, selepas melaksanakan shalat Id’, kami makan opor dan ketupat buatan ibu. Setelah itu baru kemudian kami sungkeman meminta maaf kepada ibu dan eyang. Lagi-lagi ibu menangis memikirkan ayah. Aku dan kakak-kakakku berusaha menenagkan ibu.

                Malamnya, entah apa penyebabnya. Ibu terjatuh saat ia sedang melaksanakan shalat isya. Kak mella yang sedang asyik membaca buku di kamarnya mendengar suara benturan. Ibu terjatuh dan kepalanya membentur dinding. Kak Mella segera memanggil aku dan Kak Robi yang sedang menonton televisi di ruang belakang. Aku takut dan sangat panik. Dengan sigap Kak Robi membopong tubuh ibu untuk segera dilarikan ke Rumah Sakit. Ketika sampai disana, ibu segera di bawa ke UGD. Perasaanku tidak enak dan tenang. Aku takut sesuatu yang parah menimpa ibu.
                Setengah jam berlalu, dokter keluar dari UGD dan mengabarkan bahwa ibu sangat kritis dan kemungkinan besar tidak bisa selamat. Aku merasakan kepalaku sangat sakit mendengar itu.
“Dek, sebenarnya sakit apa yang ibu derita? Kamu gak pernah cerita sama kak Robi si.”
“Aku gak tau kak. Ibu waktu itu sering banget sakit-sakitan. Tapi kata dokter penyakit ibu tidak parah. Itu semua terjadi semenjak ayah pergi ninggalin kita. Ayah pergi kemana si kak ?? Kenapa gak pernah balik lagi sama kita ??”
“Sebenarnya, ayah menceraikan ibu. Kakak pun gak tahu persis apa masalahnya. Karna ibu gak pernah cerita banyak sama kakak. Ibu itu gak pernah mau anaknya menjadi sedih saat tahu orang tua berpisah. Ibu juga berpesan untuk tidak memberitahukan itu sama kamu. Karna saat itu kamu lagi ujian dan ibu gak mau kamu terganggu cuma gara-gara masalah ayah sama ibu.”
“Tapi kak, Rizka udah gede. Rizka udah patut buat tahu masalah yang menimpa keluarga kita. Kalo dari waktu itu aja kakak kasih tahu mungkin Rizka bisa ngejagain ibu lebih intensif lagi.”

                Pukul 02.45, seorang suster keluar dari dalam UGD dan seorang dokter masuk tergugup ke dalam UGD. Aku membangunkan Kak Robi yang tidur di sebelahku.
“Kak Robi! Bangun ! Itu ada apa dokter dan suster berlarian masuk ke UGD ??”
“Ada apa?”
“Itu kak, dokter sama suster lari-larian masuk ke UGD. Ada apa ya kak ? jangan-jangan ibu kak!”
“Astaghfirullah.. Mudah-mudahan bukan ibu dek. Kita berdoa saja untuk kesembuhan ibu. Ikut kakak ke musholla dek!” Kak Robi segera menarik tanganku. Kita shalat tahajud dan berdoa untuk ibu.
Ya Allah, berikan kesembuhan untuk ibu. Jangan Kau beri ibu dan kami cobaan yang berat. Aku tidak ingin melihat ibu sedih terus. Aku mohon berikan kesembuhan bagi ibu. Karna hanya Engkaulah Dzat Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit umatMu.
Kami kembali ke depan UGD, tiba-tiba seorang suster mendekati kami mengabarkan bahwa ibu sudah menghembuskan nafas terakhir. Muka Kak Robi langsung pucat dan matanya memerah. Aku meminta izin pada suster untuk melihat almh. Ibu. Suster mempersilakan kami untuk masuk. Tidak pernah kusangka akan seperti ini jadinya. Aku kehilangan orang yang paling aku sayang. Benar-benar kehilangan. Seorang wanita yang begitu dekat denganku, harta paling berharga dalam hidupku, penyemangat saat aku mengeluh dan berputus asa. Kini sudah pergi dan tak akan pernah kembali ke dunia ini. Aku menangis lirih di telinga ibu. Meminta maaf an berterimakasih atas segala jasa beliau.
                Aku tak kuasa untuk memandikan jasad ibu. Berulang kali aku menangis. Aku tidak bisa tegar seperti Kak Robi. Kulihat juga Kak Mella seperti aku, tidak bisa menahan tangis dan kesedihan. Jenazah ibu akan dimakamkan pada pukul 09.00. Aku ikut mengantarkan ibu di peristirahatan terakhir.

                Saat aku sedang berdiam di rumah memeluk foto almarhumah ibu, tiba-tiba ada orang asing yang datang. Ia berkata, “Nak Robi, saya ikut berbela sungkawa atas kematian ibu Nak Robi. Ini saya punya rejeki sedikit buat adik-adik Nak Robi. Itung-itung beramal buat anak yatim piatu.”
Mendengar tersebut, aku sangat marah dan keluar dari kamar. “Ibu! Kami tidak butuh amplop berisi banyak uang. Kami hanya butuh doa untuk ibu kami sekarang ! Kami tahu bahwa kami yatim piatu, tapi apa perkataan ibu pantas diucapkan disini, saat kami sedang berduka kehilangan orang tua. Terimakasih . Kami tidak butuh amplop uang ibu !” Kak Robi yang melihat aku memarahi ibu-ibu itu langsung menarikku ke dalam kamar. “Dek, kamu gak boleh bilang kayak gitu sama ibu itu. Gak sopan !” “Biar saja! Ibu itu sering melecahkan keluarga kita Kak. Aku gak terima disaat ibu udah gak ada, dia masih aja ngelecehin kita. Ibu itu mantan kekasih ayah dulu!”
Ibu-ibu itu langsung pergi tanpa pamit kepada Kak Robi. Aku melihat gamis putih yang tergantung di balik pintu kamar ibu. Kuambil dan kupeluk gamis tersebut. Gamis yang dikenakan ibu kemarin pagi yang terlihat begitu sangat cantik kini sudah tidak lagi aku melihatnya. Yang tersisa hanya wangi parfum ibu yang masih tercium di gamis itu. ‘Ibu, Rizka belum pengen kehilangan ibu. Rizka belum bisa mandiri hidup tanpa ibu. Rizka masih pengen lihat senyum ibu. Melihat ibu mengenakan gamis pemberian Rizka ini’
Banyak tamu-tamu berdatangan untuk berbela sungkawa dan memberi nasehat dan semangat untuk aku, Kak Mella dan Kak Robi. Sekian banyak tamu yang berdatangan, tetap saja ayah tidak datang atau pulang ke rumah. Sekedar untuk melayat atau bertemu anak-anak mereka. Apakah ayah sudah tidak mau tahu atau memang tidak tahu ...
                Seminggu setelah kepergian ibu, Kak Robi mengajakku pindah dengannya ke Sumatra. Karna aku pasti disini sendirian. Sudah tidak ada ibu, saudara pun jauh. Akhirnya aku memutuskan ikut kak Robi dan mengurus surat-surat pindah sekolahku. Dalam perjalanan, masih saja aku terbayang-bayang wajah ibu. Hingga aku berhalusinasi ibu ada di sampingku. Duduk bersamaku di dalam mobil Kak Robi. Aku memandang foto ibu dan ayah yang menjadi wallpaper di ponselku. ‘Ibu, ayah.. Andaikan Rizka boleh minta, Rizaka pengin kita bisa berkumpul dan bersatu lagi seperti dulu. Sekarang Rizka ikut Kak Robi. Karna Rizka sudah tidak punya orang tertua selain Kak Robi yang menjadi penopang dan tuntunan Rizka. Rizka akan selalu mendoakan ibu agar ibu tenang dan bahagia disana. Rizka janji akan selalu mengingat pesan dan nasehat ibu. Rizka akan menjadi anak yang pintar dan berguna bagi negara ini. Ibu pasti akan tersenyum bangga disana melihat anak-anakmu sukses nantinya. Amin’ tanpa sadar  mobil Kak Robi berhenti dan air mataku menetes terus. Kak Robi yang sedang mengemudi memandangku ke belakang dan tersenyum. “Dek, jangan cengeng lagi ya. Ibu bangga punya anak-anak kayak kita.” Mobil melaju kembali. Ku hempaskan punggungku ke kursi mobil. Saat kami melewati persawahan yang terbentang luas, aku memandang jauh ke luar jendela. Sosok wanita tersenyum dan melambai ke arah mobil kami. Ibu..... Aaah, lagi-lagi aku berhalusinasi. Mungkin awal aku tinggal bersama Kak robi akan berat tanpa ibu.
Ibu aku merindukanmu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar