Lebaran tinggal menghitung hari lagi, dimana saja pun sudah
terdengar bunyi ledakan-ledakan petasan. Hari ini aku berencana ingin membeli
gamis lebaran untuk ibuku. Aku sudah menemukan gamis yang menurutku cocok untuk
ibuku. Tapi, baru hari ini aku bisa membelinya. Aku membayangkan betapa
cntiknya ibu jika ia mengenakan gamis itu. Ah, kecantikan ibu tiada duanya
di dunia ini...
Dengan
ditemani seorang temanku, aku menuju Toko Baju Muslim yang menjual berbagai
macam kelengkapan shalat dan busana muslim. Aku bergerak cepat karna takut
gamis yang sudah aku incar 4 hari yang lalu laris dibeli orang lain.
Alhamdulillah, gamis itu masih utuh dan masih ada di tempat pertama kali aku
melihatnya. Aku meminta nota kepada SPG untuk dibayar ke kasir. Aku meminta
pendapat Faiq gimana bagusnya aku memberikan gamis itu kepada ibu. Faiq adalah
teman dekatku sejak aku kecil. Dia yang paling setia diantara teman-teman yang
lain. Kuputuskan untuk membungkus gamis itu dengan kotak kecil dan kuhias
dengan pita. Aku harap ibu menyukainya.
2 hari
menjelang lebaran Idul Fitri aku sengaja membantu ibu merapikan rumah termasuk
halaman depan dan ruang tamu. Selagi ibu memasak dan membuat ketupat lebaran,
aku diam-diam menaruh kotak berisi gamis itu di meja makan. Aku sengaja tidak
memberikan langsung pada ibu.
“kotak siapa ini?” ibu bingung saat kembali dari dapur.
“Rizka, ini kotak punyamu? Letakkan di kamar nak, jangan di meja makan.”
Terdengar suara ibu dari dalam. Aku segera berlari masuk dan tersenyum-senyum,
“ Ibu, itu untukmu. Aku ingin ibu mengenakannya saat lebaran besok.”
“Apa ini, nak?” ibu masih bingung. “Itu gamis untuk ibu. Aku
yakin pasti ibu sangat cantik bila mengenakannya.” Langsung saja aku memeluk
pundak ibu. “Terimakasih, rizka. Seharusnya kamu tidak perlu membelikannya.
Terimakasih yaa... Ibu pasti kenakan saat lebaran nanti.” Ibu mengecup kening
ibu.
Kami
melaksanakan shalat Id’ di masjid dekat rumah. Aku berangkat bersama Om dan
Kakak. Untungnya keluarga dan kakak pulang kampung dari luar kota. Ibu menjadi
terhibur dan tidak merasa kesepian. Karna semenjak ayah pergi meninggalkan
kami, ibu jadi sering sedih dan sakit-sakitan. Di rumah kami hanya tinggal
berdua, sedangkan Kak Mella kuliah di Bandung dan Kak Robi bekerja di Sumatra.
Otomatis aku sebagai anak laki-laki satu-satunya yang bersama ibu harus menjaga
dan merawat ibu sebaik mungkin.
Seperti
biasa, selepas melaksanakan shalat Id’, kami makan opor dan ketupat buatan ibu.
Setelah itu baru kemudian kami sungkeman meminta maaf kepada ibu dan eyang.
Lagi-lagi ibu menangis memikirkan ayah. Aku dan kakak-kakakku berusaha
menenagkan ibu.
Malamnya,
entah apa penyebabnya. Ibu terjatuh saat ia sedang melaksanakan shalat isya.
Kak mella yang sedang asyik membaca buku di kamarnya mendengar suara benturan.
Ibu terjatuh dan kepalanya membentur dinding. Kak Mella segera memanggil aku
dan Kak Robi yang sedang menonton televisi di ruang belakang. Aku takut dan
sangat panik. Dengan sigap Kak Robi membopong tubuh ibu untuk segera dilarikan
ke Rumah Sakit. Ketika sampai disana, ibu segera di bawa ke UGD. Perasaanku
tidak enak dan tenang. Aku takut sesuatu yang parah menimpa ibu.
Setengah
jam berlalu, dokter keluar dari UGD dan mengabarkan bahwa ibu sangat kritis dan
kemungkinan besar tidak bisa selamat. Aku merasakan kepalaku sangat sakit
mendengar itu.
“Dek, sebenarnya sakit apa yang ibu derita? Kamu gak pernah
cerita sama kak Robi si.”
“Aku gak tau kak. Ibu waktu itu sering banget sakit-sakitan.
Tapi kata dokter penyakit ibu tidak parah. Itu semua terjadi semenjak ayah
pergi ninggalin kita. Ayah pergi kemana si kak ?? Kenapa gak pernah balik lagi
sama kita ??”
“Sebenarnya, ayah menceraikan ibu. Kakak pun gak tahu persis
apa masalahnya. Karna ibu gak pernah cerita banyak sama kakak. Ibu itu gak
pernah mau anaknya menjadi sedih saat tahu orang tua berpisah. Ibu juga
berpesan untuk tidak memberitahukan itu sama kamu. Karna saat itu kamu lagi
ujian dan ibu gak mau kamu terganggu cuma gara-gara masalah ayah sama ibu.”
“Tapi kak, Rizka udah gede. Rizka udah patut buat tahu
masalah yang menimpa keluarga kita. Kalo dari waktu itu aja kakak kasih tahu
mungkin Rizka bisa ngejagain ibu lebih intensif lagi.”
Pukul
02.45, seorang suster keluar dari dalam UGD dan seorang dokter masuk tergugup
ke dalam UGD. Aku membangunkan Kak Robi yang tidur di sebelahku.
“Kak Robi! Bangun ! Itu ada apa dokter dan suster berlarian
masuk ke UGD ??”
“Ada apa?”
“Itu kak, dokter sama suster lari-larian masuk ke UGD. Ada
apa ya kak ? jangan-jangan ibu kak!”
“Astaghfirullah.. Mudah-mudahan bukan ibu dek. Kita berdoa
saja untuk kesembuhan ibu. Ikut kakak ke musholla dek!” Kak Robi segera menarik
tanganku. Kita shalat tahajud dan berdoa untuk ibu.
Ya Allah, berikan kesembuhan untuk ibu. Jangan Kau beri
ibu dan kami cobaan yang berat. Aku tidak ingin melihat ibu sedih terus. Aku
mohon berikan kesembuhan bagi ibu. Karna hanya Engkaulah Dzat Yang Maha
Menyembuhkan segala penyakit umatMu.
Kami kembali ke depan UGD,
tiba-tiba seorang suster mendekati kami mengabarkan bahwa ibu sudah
menghembuskan nafas terakhir. Muka Kak Robi langsung pucat dan matanya memerah.
Aku meminta izin pada suster untuk melihat almh. Ibu. Suster mempersilakan kami
untuk masuk. Tidak pernah kusangka akan seperti ini jadinya. Aku kehilangan
orang yang paling aku sayang. Benar-benar kehilangan. Seorang wanita yang
begitu dekat denganku, harta paling berharga dalam hidupku, penyemangat saat
aku mengeluh dan berputus asa. Kini sudah pergi dan tak akan pernah kembali ke
dunia ini. Aku menangis lirih di telinga ibu. Meminta maaf an berterimakasih
atas segala jasa beliau.
Aku tak
kuasa untuk memandikan jasad ibu. Berulang kali aku menangis. Aku tidak bisa
tegar seperti Kak Robi. Kulihat juga Kak Mella seperti aku, tidak bisa menahan
tangis dan kesedihan. Jenazah ibu akan dimakamkan pada pukul 09.00. Aku ikut
mengantarkan ibu di peristirahatan terakhir.
Saat
aku sedang berdiam di rumah memeluk foto almarhumah ibu, tiba-tiba ada orang
asing yang datang. Ia berkata, “Nak Robi, saya ikut berbela sungkawa atas
kematian ibu Nak Robi. Ini saya punya rejeki sedikit buat adik-adik Nak Robi. Itung-itung
beramal buat anak yatim piatu.”
Mendengar tersebut, aku sangat marah dan keluar dari kamar.
“Ibu! Kami tidak butuh amplop berisi banyak uang. Kami hanya butuh doa untuk
ibu kami sekarang ! Kami tahu bahwa kami yatim piatu, tapi apa perkataan ibu
pantas diucapkan disini, saat kami sedang berduka kehilangan orang tua.
Terimakasih . Kami tidak butuh amplop uang ibu !” Kak Robi yang melihat aku
memarahi ibu-ibu itu langsung menarikku ke dalam kamar. “Dek, kamu gak boleh
bilang kayak gitu sama ibu itu. Gak sopan !” “Biar saja! Ibu itu sering
melecahkan keluarga kita Kak. Aku gak terima disaat ibu udah gak ada, dia masih
aja ngelecehin kita. Ibu itu mantan kekasih ayah dulu!”
Ibu-ibu itu langsung pergi tanpa pamit kepada Kak Robi. Aku
melihat gamis putih yang tergantung di balik pintu kamar ibu. Kuambil dan
kupeluk gamis tersebut. Gamis yang dikenakan ibu kemarin pagi yang terlihat
begitu sangat cantik kini sudah tidak lagi aku melihatnya. Yang tersisa hanya
wangi parfum ibu yang masih tercium di gamis itu. ‘Ibu, Rizka belum pengen
kehilangan ibu. Rizka belum bisa mandiri hidup tanpa ibu. Rizka masih pengen
lihat senyum ibu. Melihat ibu mengenakan gamis pemberian Rizka ini’
Banyak tamu-tamu berdatangan
untuk berbela sungkawa dan memberi nasehat dan semangat untuk aku, Kak Mella
dan Kak Robi. Sekian banyak tamu yang berdatangan, tetap saja ayah tidak datang
atau pulang ke rumah. Sekedar untuk melayat atau bertemu anak-anak mereka.
Apakah ayah sudah tidak mau tahu atau memang tidak tahu ...
Seminggu
setelah kepergian ibu, Kak Robi mengajakku pindah dengannya ke Sumatra. Karna
aku pasti disini sendirian. Sudah tidak ada ibu, saudara pun jauh. Akhirnya aku
memutuskan ikut kak Robi dan mengurus surat-surat pindah sekolahku. Dalam
perjalanan, masih saja aku terbayang-bayang wajah ibu. Hingga aku berhalusinasi
ibu ada di sampingku. Duduk bersamaku di dalam mobil Kak Robi. Aku memandang
foto ibu dan ayah yang menjadi wallpaper di ponselku. ‘Ibu, ayah.. Andaikan
Rizka boleh minta, Rizaka pengin kita bisa berkumpul dan bersatu lagi seperti
dulu. Sekarang Rizka ikut Kak Robi. Karna Rizka sudah tidak punya orang tertua
selain Kak Robi yang menjadi penopang dan tuntunan Rizka. Rizka akan selalu
mendoakan ibu agar ibu tenang dan bahagia disana. Rizka janji akan selalu
mengingat pesan dan nasehat ibu. Rizka akan menjadi anak yang pintar dan
berguna bagi negara ini. Ibu pasti akan tersenyum bangga disana melihat
anak-anakmu sukses nantinya. Amin’ tanpa sadar
mobil Kak Robi berhenti dan air mataku menetes terus. Kak Robi yang
sedang mengemudi memandangku ke belakang dan tersenyum. “Dek, jangan cengeng
lagi ya. Ibu bangga punya anak-anak kayak kita.” Mobil melaju kembali. Ku
hempaskan punggungku ke kursi mobil. Saat kami melewati persawahan yang
terbentang luas, aku memandang jauh ke luar jendela. Sosok wanita tersenyum dan
melambai ke arah mobil kami. Ibu..... Aaah, lagi-lagi aku berhalusinasi.
Mungkin awal aku tinggal bersama Kak robi akan berat tanpa ibu.
Ibu aku merindukanmu...